CIREBON – Kabupaten Cirebon merupakan salah satu penghasil garam terbesar di Jawa Barat. Tak tanggung-tanggung, ratusan ribu ton garam pun mampu diproduksi setiap musim kemarau oleh para petani garam di daerah ini, meskipun kebanyakan para petani garam mayoritas masih menggunakan sistem pengolahan secara tradisional.
Namun pada musim kemarau tahun ini, jangankan ratusan ribu ton, untuk mencapai ratusan ton saja sangatlah sulit. Meski harganya, sekarang bisa meroket tinggi dari harga biasanya.
Sulitnya memproduksi garam ini, telah dirasakan masyarakat petani garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon. Selain faktor alam, baik seringnya hujan, maupun air laut pasang membuat mereka kewalahan untuk sekadar menghasilkan garam dalam memenuhi kebutuhan.
Karena sulitnya berproduksi, membuat stok garam hampir langka. Harga pun mulai terbuka, dari yang tadinya asin menjadi lebih manis dan lezat didengar.

“Tapi meski harga mahal, kita malah sulit membuat garam. Jadi ya, tetap kurang menghasilkan. Bahkan, banyak juga yang sudah mengelola lahan selama empat bulan sampai sekarang belum bisa panen garam,” kata salah seorang petani garam di desa tersebut, Tohari (46 tahun), Minggu (3/10/2021).
Ia menjelaskan, awal-awal sekira di bulan Juni-Agustus 2021, garam petani diharga antara Rp 400 /kilogram. Namun, ketika September-sekarang karena stok garam sudah sangat berkurang, harga pun naik perlahan. Mulai dari Rp 450 /kilogram sampai sekarang sudah di angka Rp 750 /kilogram tergantung lokasi dan kualitas garamnya.
“Prediksinya ya bisa di atas Rp 1.000 /kilogramnya, jika nanti masuk di musim hujan,” katanya.
Hal yang sama juga dirasakan Leman (42 tahun), petani garam tersebut mengeluh. Ia bersama ratusan petani lain mengaku kesulitan untuk memproduksi garam di tahun sekarang.
Sebab, lahan yang digarap para petani sering kali terendam air laut, sehingga tekstur tanahnya berpengaruh agar garam bisa cepat jadi. “Selain itu, pengaruh hujan yang sering di musim kemarau tahun sekarang, membuat tambah sulit untuk menghasilkan garam,” ungkapnya.
Beruntung, mulai akhir September hingga sekarang awal Oktober, panas di wilayahnya mulai bersahabat seperti yang diharapkan. Sehingga, sebagian petani garam sudah mulai panen. Itu pun kebanyakan bagi petani garam yang menggunakan plastik dalam pengolahannya.
“Kalau saya yang tidak pakai plastik sih baru sekarang panennya. Malah masih banyak juga yang belum bisa panen itu contohnya tetangga saya, sudah empat bulan sampai sekarang belum pernah merasakan panen,” katanya.
Tohari dan Leman pun mengaku sangat senang dengan harga garam yang terus mengalami kenaikan. Harapan mereka, kenaikan harga garam, tidak hanya musim kemarau tahun sekarang, tetapi di musim kemarau tahun depan juga bisa bertahan. “Dan semoga faktor alam mendukung, agar petani garam bisa terus panen,” ucapnya. (Joni)
Tinggalkan Balasan