Hal itu lantas dikritik oleh anggota Komisi IX DPR RI, Lucy Kurniasari. Menurutnya Perppu Cipta Kerja tersebut menghapus aturan cuti panjang dan mengatur
Anggota Komisi IX DPR RI, Lucy Kurniasari.

JAKARTA, Eranasional.com – Disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Cipta Kerja atas perubahan aturan waktu istirahat dan cuti yang dinilai tidak berpihak kepada pekerja.

Hal itu lantas dikritik oleh anggota Komisi IX DPR RI, Lucy Kurniasari. Menurutnya Perppu Cipta Kerja tersebut menghapus aturan cuti panjang dan mengatur libur hanya satu hari dalam sepekan.

Padahal, sambung dia, cuti panjang merupakan hak yang mestinya diberikan kepada pekerja. Namun, dalam Perppu ini perusahaan tidak memiliki kewajiban memberikan hak tersebut.

“Melalui cuti panjang, diharapkan pekerja dapat memulihkan fisik dan psikisnya sehingga dapat kembali bekerja lebih bugar dan meningkatkan kinerjanya,” ujar Lucy kepada wartawan, Senin, 2 Januari.

Dalam Perpu Cipta Kerja, aturan soal waktu istirahat dan cuti tertuang dalam pasal 79. Namun, Perppu ini menghapus ayat d poin 2 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur soal istirahat panjang.

Apabila sebelumnya istirahat panjang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dengan durasi minimal 2 bulan, aturan soal istirahat panjang dalam Perpu Cipta Kerja diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama perusahaan tertentu.

Sementara soal jumlah hari kerja yang ditambah menjadi 6 hari dengan libur 1 hari, menurutnya, ketentuan kerja 5 hari dalam seminggu sudah cukup. Sehingga pekerja bisa beristirahat di 2 hari berikutnya.

“Produktivitas kerja tidak ditentukan oleh lamanya bekerja, karena itu, lima hari kerja dalam seminggu kiranya sudah cukup,” tegas legislator Demokrat itu.

Lucy menilai, beleid dalam Perppu Cipta Kerja tidak menciptakan kepastian hukum bagi pekerja. Menurutnya, Perppu justru lebih berpihak kepada investor dan pengusaha bukan pekerja.

“Pemerintah tidak menerbitkan Perpu untuk kepastian hukum bagi pekerja. Ini artinya, motif diterbitkan Perppu memang bukan untuk kepentingan pekerja, tapi lebih kepada investor,” jelasnya.

Luci menambahkan, penerbitan Perppu Ciptaker juga terkesan dipaksakan saat DPR RI reses. Padahal kata dia, tidak ada yang mendesak untuk diterbitkan Perppu.

Kemudian soal dampak perang Rusia-Ukraina yang jadi alasan pemerintah menerbitkan Perppu, Luci menegaskan, hal itu tidak dapat dijadikan dasar untuk menerbitkan Perppu.

Oleh karena itu, Lucy berharap setelah masa reses DPR RI menolak Perppu Cipta Kerja tersebut. Karena itu, usai reses nanti seharusnya DPR RI menolak Perppu tersebut.  Dengan begitu DPR tidak hanya menjadi lembaga stempel pemerintah,” pungkasnya. **