Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X saat berpidata di acara pembukaan pameran Narawandira. (Foto: HUMAS PEMPROV DIY)

YOGYAKARTA, Eranasional.com – Tidak sekadar padi dan tebu yang mencatat sejarah dalam perubahan tata pemerintahan Yogyakarta, vegetasi historis dan filosofi seperti asem, tanjung, gayam, beringin, hingga pohon kepel dan belimbing wuluh begitu dekat dengan kosmis Masyarakat Jawa. Bentang sumbu filosofi yang menjadi jalan-jalan protokol bagi semua masyarakat seyogyanya perlu dijaga vegetasinya. Keraton Yogyakarta mendorong sekaligus mengambil peran untuk menumbuhkan kembali kesadaran masyarakat agar menjaga kelestarian lingkungan sekecil mungkin.

“Tidak sekadar melihat bahwa pertiwi dan seluruh hasilnya dapat dimanfaatkan terus-menerus, tetapi juga mereproduksinya dengan jalan-jalan pelestarian adiluhung.

Vegetasi hari ini tidak sekadar padi, tebu, atau pohon, batang, bunga, daun, dan hutan yang membentang, melainkan berbagai kearifan dari alam yang memeanuhi ruang sakral dan profan dalam waktu yang bersamaan,” ujar Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X saat membuka Pameran Narawandira Tingalan Jumenengan di Bangsal Sri Manganti Keraton Yogyakarta, Sabtu malam (04/03/2023).

Sri Sultan menyampaikan peringatan 34 tahun dirinya bertahta kali ini bertema Narawandira yang secara harfiah dapat dipahami sebagai manusia dan kontinuitas alam. Budaya Jawa kerap merefleksikan hubungan manusia dengan alam sebagai sebuah kausalitas.

Alam menjadi jawaban dari kebutuhan manusia yang wruh lan wanuh marang pertiwi. Di sisi lain, alam sebagai bagian dari makro-kosmos kerap memberi kejutan-nbagi mereka yang acuh, tidak pernah asuh terhadap buminya.

Jika ditelaah lebih mendalam, alam dan manusia memiliki hubungan integral yang saling mengikat dan tarik-menarik. Pada titik ini, falsafah Hamemayu Hayuning Bawana dari Pangeran Mangkubumi begitu selaras untuk diejawantahkan.

Menjaga dan merawat keserasian dunia menjadi tugas yang semestinya diemban oleh manusia seutuhnya, seperti halnya judul pameran Narawandira, manusia yang menjadi agen kontinu,” imbuhnya.

Dalam satu siklus sangkan paran, Sri Sultan yang sekaligus Gubernur DIY ini menekankan alam memegang peran penting di dalamnya. Tidak sekadar berbicara mengenai upacaranya, tetapi keterlibatan alam dalam setiap upakaranya.

Kiranya benar bahwa hamemayu hayuning bawana tidak hanya bertumpu pada menjaga alam secara murni, melainkan mengolah sumber daya dari pertiwi sebagai bagian dari kehidupan secara utuh.

Kedekatan keraton dengan alam sejatinya telah termaktub dalam babad maupun arsip-arsip lokal. Pangeran Mangkubumi dengan prinsip ‘Salumahing bumi lan sakurebing langit kagunganing nata’’ lebih dahulu membuka hutan beringin untuk dijadikan pusat pemerintahan baru dari Mataram di Yogyakarta.

Kawasan hutan beringin pun diubah menjadi lahan-lahan pertanian, perkebunan, hingga taman dan pesanggrahan untuk memenuhi ruang hidup seey pemerintahan. Masing-masing kawasan kemudian berkembang ada pesat hingga Yogyakarta menjadi daerah yang kaya akan sumber daya alam agraris.

“Pameran yang bertepatan dengan Perayaan Hari Penegakan Kedaulatan Negara ini menandai keterbukaan Keraton, agar khususnya bisa mencapai sasaran pengunjung generasi digital yang dituju. Silakan hadir, seraya merefleksi sejarah budaya dan tradisi lama, yang semoga pengalaman yang tak terlupakan ini dapat menjadi pelajaran kita bersama,” ujar Sri Sultan.

Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Nityabudaya GKR Bendara sekaligus Ketua Pelaksana dan Penanggung Jawab Pameran Narawandira mengatakan lebih dari 10 dekade setelah peradaban hutan beringan dibangun Pangeran Mangkubumi, Yogyakarta menjelma menjadi kota kerajaan yang subur Tanah agraris. Kedekatan keraton dengan alam pun secara kontekstual dimanifestasikan dalam falsafah Hamemayu Hayuning Bawana.

Kontinuitas dari kraton dan alam selanjutnya mewujud pada pemanfaatan vegetasi tepat guna dalam berbagai kepentingan, baik sakral maupun profan. Pameran ini menjadi potret dari keberlangsungan keraton dalam menjaga alam dan merawat kontinuitas dari narasi historis Yogyakarta sebagai kota peradaban di antara bentang alam Merapi dan Laut Selatan.

“Oleh sebab itu, kami melalui Kawedanan Radya Kartiyasa menggelar pameran Narawandira. Nara berarti manusia, wandira berarti beringin. Beringin sering menjadi representasi dari seorang pemimpin, sebab memiliki keistimewaan yaitu kuat dan kokoh, mudah beradaptasi, menjadi pengayom dan penopang, dapat memberi manfaat dan terus bertumbuh. Kami ingin memberi potret dari peran manusia sebagai tokoh utama dalam pelestarian alam,” tutur Gusti Bendara.

Pameran Narawandira digelar mulai 5 Maret 2023 hingga 29 Agustus 2023 di area Kedhaton Kraton Yogyakarta. Adapun tiket masuk yang dikenakan sebesar Rp 15.000 per orang, Pengunjung yang hadir dengan grup minimal 20 orang, akan mendapatkan diskon tiket masuk 10%. Tiket dapat dibeli secara langsung di tempat pembelian tiket masuk area Kedhaton yang terletak di Kamandhungan Lor.

Dalam Pameran Narawandira, selain memamerkan beragam vegetasi yang memiliki keterkaitan dengan Kraton Yogyakarta, beragam kegiatan pendukung pameran juga akan diselenggarakan.

Pembukaan Pameran Narawandira: Keraton, Alam, dan Kontinuitas dimeriahkan dengan penampilan Wayang Wong lakon Jumenengan Prabu Kresna persembahan Kawedanan Kridhamardawa. Tampak hadir pula GKR Hayu, KPH Yudanegara, perwakilan lKasunan Surakarta dan sejumlah tamu undangan lainnya.

“Untuk berbagai kegiatan pendukung seperti kuratorial tur, dan sebagainya, kami informasikan kemudian. Silakan terus pantau akun media sosial resmi kami di Instagram @kratonjogja.event dan @kratonjogja,” tandas Gusti Bendara.

Pameran ini beserta simposium International digelar dalam rangka Mangayubagya Tingalan Jumenengan Dalem. Sebelumnya dilakukan rangkaian adat Tingalan Jumenengan Dalem atau peringatan ulang tahun kenaikan tahta Sri Sultan HB X pada 2023 ini.

Sebelumnya telah dilaksanakan serangkaian Hajad Dalem mulai dari Ngebluk (18 Februari 2023), Ngapem (19 Februari 2023), Sugengan (20 Februari 2023), hingga Labuhan di berbagai lokasi seperti Parangkusuma (21 Februari 2023), Merapi, dan Lawu (22 Februari 2023).