Warga Kecamatan Satar Mese Kabupaten Manggarai menghadang aparat yang hendak mengamankan Pengembangan PLTP Ulumbu. (Foto: Dok. Warga)

RUTENG, Eranasional.com – Sejak tahun 2018, Pemerintah melalui PT PLN berencana melakukan pengembangan PLTP Ulumbu.

PLTP Ulumbu ini berada di Kecamatan Satar Mese Kabupaten Manggarai.

Pengembangan PLTP Ulumbu dalam rangka meningkatkan kapasitas listrik di wilayah Nusa Tenggara Timur NTT dan sekitarnya.

Sejak rencana itu diketahui, timbul pro kontra di tengah masyarakat. Polemik terkait proyek perluasan dan pengembangan Geothermal Poco Leok kini kian memanas akhir-akhir ini.

Rencana perluasan dan pengembangan Geothermal Ulumbu di wilayah Poco Leok dengan kapasitas 2 x 20 Mega Watt (MW) telah menimbulkan begitu banyak persolan di tengah masyarakat.

Diketahui bahwa sebagian besar masyarakat Poco Leok, menolak kehadiran proyek ini karena melihat sejumlah dampak buruk PLTP lain di Indonesia.

Seorang ibu pingsan saat menghadang aparat terkait pengembangan PLTP Ulumbu di Kabupaten Manggarai. (Foto: Dok Warga)

Contohnya seperti di Sorik, Merapi, dan Mataloko dan juga akan mengancam serta menghilangkan ruang hidup masyarakat yaitu kesatuan yang utuh kampung halaman (golo lonto, mbaru ka’eng, natas labar), kebun mata pencaharian (uma duat), sumber air (wae teku), pusat kehidupan adat (compang takung, mbaru adat).

Dari 14 Gendang persekutuan masyarakat adat yang ada dan hidup di wilayah Poco Leok, sebanyak 10 gendang dengan tegas dan secara tertulis menolak kehadiran proyek ini.

Sejak tahun 2022 Pihak PLN semakin gencar melakukan upaya-upaya untuk mewujudkan rencana tersebut sampai berusaha memasuki lahan-lahan warga, baik pribadi maupun lahan milik persekutuan adat.

Patut disayangkan karena upaya-upaya tersebut tidak pernah melewati proses yang benar bahkan secara diam-diam masuk ke dalam lahan warga dan melakukan kegiatan eksplorasi.

Akibatnya seringkali mereka harus dihadang dan diusir warga bahkan warga sampai harus menahan alat-alat eksplorasi yang mereka gunakan karena melakukan kegiatan dalam lahan milik persekutuan adat tanpa izin.

Terhadap semua aksi pemaksaan dan kekerasan itu, JPIC SVD Ruteng (Justice, Peace and Integrity of Creation) mengutuk semua bentuk pemaksaan dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh PLN dan terutama oleh aparat keamanan.

Koordinator JPIC SVD Ruteng Pater Simon Suban Tukan. (Foto: Eranasional/Ist)

Koordinator JPIC SVD Ruteng, P. Simon Suban Tukan, SVD mengatakan, berdasarkan hasil asesmen lapangan dan dari rekaman video dan foto, terdapat begitu banyak warga yang dipukul.

Selain dipukul warga juga ditendang oleh aparat kepolisian dan Satpol PP.

Bahkan kekerasan dan pelecehan terhadap kaum perempuan dilakukan sehingga mereka mengalami trauma yang mendalam.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa kegiatan PLN ternyata tidak berhenti, malah mulai menggunakan atau memobilisasi aparat keamanan untuk membackup kegiatan mereka.

Kata dia, berdasarkan informasi yang dihimpun dari lapangan, mobilisasi itu mulai dilakukan pada 9 Juni 2023.

Dimana pihak PLN dan aparat keamanan berusaha menerobos masuk ke lokasi yang akan dijadikan sasaran pengeboran panas bumi, yakni di Lingko Tanggo milik persekutuan adat Gendang Lungar.

Aksi itu dilanjukan pada19-21 Juni 2023. Aparat Keamanan dimobilisasi dalam jumlah besar, hampir mencapai ratusan aparat.

Warga Kecamatan Satar Mese Kabupaten Manggarai menghadang aparat yang hendak mengamankan Pengembangan PLTP Ulumbu. (Foto: Dok. Warga)

“Warga yang menolak juga tidak mundur dari lokasi karena mereka tidak mau lahan adat mereka dijadikan tempat pengeboran panas bumi,”kata Pater Simon kepada wartawan, Kamis 22 Juni 2023 petang.

Mobilisasi dan pemaksaan yang dilakukan oleh PLN akhirnya tidak bisa menghindarkan kekerasan. Warga didorong, ditendang, sampai terjatuh dan cidera.

Lebih lanjut ia mengatakan pada 21 Juni 2023 dimana kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan memakan korban. Banyak warga mengalami luka dan memar karena pukulan.

Dua dari tiga yang cedera yang cukup parah terpaksa dilarikan ke Puskesmas Pong Ngeok.

“Bahkan korban Kampianus Jebarus harus mendapat penganan lanjutan di RSUD Ruteng, karena mengalami cedera serius pada leher dan dada akibat pukulan dan tendangan oleh aparat keamanan di lokasi,” ungkap Pater Simon.

Warga Kecamatan Satar Mese Kabupaten Manggarai menghadang aparat yang hendak mengamankan Pengembangan PLTP Ulumbu. (Foto: Dok. Warga)

“Kami menilai tindakan kekerasan, represif dan intimidatif merupakan bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembiaran oleh pemerintah setempat karena pada saat kejadian Camat Satar Mese, Damianus Arjo berada di lokasi dan menyaksikan kejadian,”sesal Pater Simon.

Padahal kata dia mereka menyaksikan beberapa warga dipukul hingga pingsan dan dilarikan ke Puskesmas Pong Ngeok,

Dua orang dirawat di RSUD Ruteng. Dua orang dilarikan ke Puskesmas Pong Ngeok yaitu ibu Bibiana Jena yang jatuh pingsan saat didorong.

Serta Kampianus Jebaru yang ditendang dan mengalami memar di leher, dan satu orang atas nama Kasianus Wandu yang ditendang jatuh pingsan serta mengalami luka di bagian tulang rusuk kiri.

Kata dia juga pada saat yang sama dua orang ibu berinisial MJ dan EL mengalami pelecehan.

Karena saat kejadian pihak keamanan mendorong tepat pada payudara korban yang dirasa sakit hingga saat ini  korban mengalami trauma yang mendalam.