MAKASSAR, Eranasional.com – Kasus perceraian di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) terus meningkat.

Sepanjang 2023, jumlah janda di Kota Makassar mencapai 2030 orang.  Angka tersebut sudah diputuskan lewat sidang di Pengadilan Agama (PA) Kelas 1A Makassar.

Panitera Pengadilan Agama, kelas 1A Makassar, Imran mengatakan kasus perceraian tahun 2023 meningkat jika dibanding tahun 2022 lalu yang kisaran hanya 2 ribuan.

“Total berdasarkan akta cerai yang terbit sepanjang 2023 ini berjumlah 2030 kasus,” ungkap Imran saat ditemui wartawan di kantornya Pengadilan Agama, kelas 1A di Jl. Perintis Kemerdekaan, Selasa 9 Januari 2023.

Imran menjelaskan kasus perceraian di Kota Daeng itu didominasi penyebabnya karena adanya perselisihan atau pertengkaran.

Mayoritas penggugat adalah wanita dengan rentang usia mulai 25 sampai 40 tahun.

“Jadi yang menggunggat itu mayoritas perempuan. Jadi ranannya dalam perkara cerai gugat (CG). Itu artinya, dilayangkan oleh istri, karena istri merasa keberatan sehingga dia menggugat ke PA,” sebut Imran.

Imran merinci, kasus terbanyak dalam kasus perceraian ini terbanyak di bulan Oktober sebanyak 233 kasus perceraian.

Januari 179 kasus, Februari 180, Maret 174, April 109, Mei 118, Juni 147, Juli 216, Agustus 159, September 150, Oktober 233, November 188, dan Desember 177.

Adapun penyebab perceraian itu, kata Imran, cukup bervariatif, mulai dari perselisihan, kekerasan dalam rumah tangga, kawin paksa dan masalah ekonomi, murtad hingga perselingkuhan.

Namun, faktor yang mendominasi karena adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus melanda rumah tangga dengan total mencapai 1.911 kasus.

Kemudian disusul faktor pangan yang artinya meninggalkan salah satu pihak tanpa tanggung jawab lagi itu sebanyak 53 kasus.

Selanjutnya, persoalan Ekonomi ada 44 kasus, kejadian terkait KDRT 10 kasus, disusul masalah murtad atau pindah agama 6 kasus, kemudian ditengarai ulah mabuk 5 kasus, dan persoalan poligami 1 kasus.

Sementara, untuk faktor lain seperti kasus zina, judi, madat, dihukum pernjara, kawin paksa, cacat badan, nol kasus.

“Mendominasi kasus itu pertengkaran atau perselisihan. Artinya itu ada sebagian besar suami mau enak susah anak artinya mau enak saja, tapi memberikan anak itu susah. Jadi memang fenomena seperti itu, atau perkara cerai gugatnya itu didominasi perempuan,” katanya

“Kalaupun ada faktor lain ada satu pihak meninggalkan pihak lain ada juga sih, ada juga faktor perceraian karena sosial media, maksudnya ada kedapatan chat lain menimbulkan kecemburuan perselisihan karena pihak ketiga, faktor ekonomi juga ada penyebab, tapi praktis tidak terlalu,” sambungnya.

Imran menyebut bahwa faktor perselisihan yang mendominasi sebenarnya ada beberapa rentetan.

Bukan hanya persoalan faktor soal nafkah, atau pun  karena kelalaian, dan bukan juga  karena faktor ekonomi tapi lebih tanggungjawab saja sehingga mereka berselisih paham.

Selanjutnya, berkaitan faktor murtad, ada salah satu keluar dari agama atau keyakinan Islam, mungkin ini perselisihan juga terjadi karena sesuatu lain hal. Kemudian, karena adanya juga perselingkuhan antara mereka.

“Faktor lain dari perselisihan itu juga karena soal perselingkuhan, ada salah satu dari mereka menjalin asmara ke pihak lain,” tukasnya.

Imran menambahkan, bahwa sebenarnya hak talak itu sudah jelas ada pada suami, namun karena fenomena yang terjadi justru istri merasa terabaikan, sehingga hak-haknya tidak terpenuhi, makanya menggugat cerai suaminya ke PA Makassar untuk menuntut haknya.

“Kadang ada orang berpandangan kenapa banyak perempuan atau istri lakukan gugatan di PA, hal ini disebabkan karena suami yang lalai dari kewajiban,” terangnya. (*)