Depok, ERANASIONAL.COM – Kasus penembakan dua remaja yang diduga hendak tawuran di Sukmajaya, Depok, pada Sabtu dini hari (9/8/2025), terus mendapat sorotan publik. Masyarakat menuntut transparansi dan akuntabilitas aparat. Info terbaru kepolisian sudah membentuk tim gabungan Ditreskrimum Polda, dan kedua anggota Polisi yang terlibat sudah dipatsus (penempatan khusus).
Kronologi Insiden Versi Kepolisian
Peristiwa berawal saat patroli kepolisian menemukan sekelompok remaja membawa senjata tajam yang hendak tawuran. Polisi mengklaim sudah melepaskan tiga kali tembakan peringatan. Namun, karena tidak diindahkan, petugas akhirnya menembak ke arah terduga pelaku.
Dari ketiga remaja yang berboncengan satu motor, dua remaja berinisial AR(16) dan RW(17) mengalami luka tembak serius. Keduanya kini menjalani perawatan secara intensif di dua Rumah sakit berbeda, satu di RS Mitra Keluarga Depok dan di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.

Sedangkan MY(18) mengalami luka ringan, dan sudah diperbolehkan pulang.
Bentuk tim Gabungan dan Anggota Masuk Patsus
Terbaru, Dilansir dari beritasatu Senin 18 Agustus 2025, Polres Metro Depok melalui Kasie Humas AKP Made Budi memastikan bahwa dua anggota yang terlibat telah diperiksa Propam Polda Metro Jaya. Untuk menjamin objektivitas, keduanya sudah ditempatkan dalam penempatan khusus (Patsus) di bawah pengawasan Propam.
Selain itu, tim gabungan Ditreskrimum Polda Metro Jaya dan Satreskrim Polres Depok juga turun tangan menyelidiki dugaan adanya unsur pidana dalam peristiwa ini. Pihak kepolisian berjanji akan bersikap transparan kepada publik.
Sorotan Publik dan Pendapat Pakar Hukum
Kasus ini memicu kritik dimasyarakat luas karena dianggap menimbulkan pertanyaan tentang prosedur penggunaan senjata api oleh aparat.
Diantaranya, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menegaskan bahwa senjata api tidak boleh dipakai sembarangan.
“Senjata api adalah the last resort atau pilihan terakhir, hanya boleh dipakai jika ada ancaman nyata terhadap nyawa aparat atau masyarakat,” jelas Azmi kepada Eranasional, Sabtu (16/8).
Ia menambahkan, bila aparat tidak mendahulukan langkah persuasif sesuai SOP, maka tindakan itu tidak proporsional.
“Pertanggungjawaban tidak boleh hanya berhenti di sanksi etik atau disiplin. Jika ada pelanggaran, harus diproses pidana, misalnya Pasal 351 KUHP (penganiayaan) atau Pasal 359 KUHP (kelalaian),” tegasnya.
Tinggalkan Balasan