Demonstrasi kepala Desa beberapa waktu lalu di Jakarta. (Foto: IST)

Desa mengalami tantangan dari berbagai kepentingan supra desa yang mencoba mengintervensi dan mengkooptasi desa melalui regulasi turunan, “titipan” proyek-proyek dan eksploitasi sumber daya alam. 

Kepentingan-kepentingan ini muncul dari berbagai pihak seperti kementerian, pemerintah daerah, partai politik, korporasi dan sebagainya. 

Dalam hal regulasi turunan dimaksud adalah bahwa ada banyak regulasi turunan dari supra desa yang hendak menguasai desa.

Seperti dari Pemerintah melalui Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan dan terbaru juga melalui UU Cipta Kerja.

JAMSU kata Yuni, menilai bahwa revisi UU Desa tidak mendesak dilakukan sekarang. Adapun hal yang mendesak dilakukan adalah mengimplementasikan UU Desa dengan menghentikan kooptasi supra desa terhadap desa.

“DPR RI dan pemerintah supaya membatalkan pembahasan revisi UU Desa karena revisi UU Desa pada dasarnya tidak mendesak dan cenderung politis menjelang Pemilu 2024,” katanya.

Alasan dari sikap ini adalah kemunculan isu revisi masa jabatan meningkat 6 bulan terakhir melalui demonstrasi yang dilakukan sekelompok kepala desa di Jakarta, revisi perpanjangan masa jabatan kepala desa sangat tidak relevan dengan demokrasi. 

Materi perubahan yang diusulkan dalam revisi sangat teknokratis dan birokratis yang pada dasarnya justru berpotensi mencederai semangat kemandirian dan partisipasi yang diusung oleh undang-undang tersebut.

Mendesak pemerintah melakukan koreksi terhadap tumpang tindih peraturan turunan UU Desa dan tumpang tindih kewenangan yang menghambat substansi dan tujuan UU desa.

JAMSU melihat penyebab disharmoni desa adalah tumpang tindih regulasi yang dibuat oleh lembaga-lembaga tersebut yang pada dasarnya bertentangan dengan undang-undang desa sebagai lex specialis pengaturan desa dan menyebabkan ruang gerak desa menuju mandiri semakin sempit.***