Demonstrasi kepala Desa beberapa waktu lalu di Jakarta. (Foto: IST)

Dia memberi contoh wacana revisi masa jabatan kepala desa. Revisi ini sebagai bentuk kemunduran demokrasi, karena DPR RI mengasumsikan daya rusak kekeluargaan yang diakibatkan oleh sisa konflik pilkades bisa reda jika pemerintahan dilakukan 9 tahun. 

Dalam hal ini DPR RI menganggap waktu 6 tahun dirasa belum cukup untuk mereduksi sisa konflik.

Hal ini kemudian menjadi syarat yang digunakan oleh DPR RI untuk mempertimbangkan kuantitas masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. 

“JAMSU melihat soal utamanya bukan di sana, melainkan kedewasaan demokrasi harus dibawa pada jalurnya yang ideal dan waktu yang akan mengujinya. Sehingga untuk meminimalisir konflik dibutuhkan tools yang konkrit ketimbang mengubah masa jabatan,” ungkapnya.

Di sisi lain, bila harus merevisi masa jabatan maka revisi harus sesuai dengan masa jabatan pemerintahan demokratis pada umumnya, yaitu 5 tahun maksimal dua periode.

Bukan 9 tahun dua periode, kemudian revisi tidak dilakukan mendadak menjelang tahun politik, dan harus memperlihatkan naskah akademik yang dapat diterima akal.

Dikatakannya, persoalan yang dihadapi desa dewasa ini bukan pada kebutuhan atas revisi UU melainkan pada tantangan dan hambatan dalam pelaksanaannya.