Tabanan, ERANASIONAL.COM – Warga Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, protes karena dilarang berjualan di atas lahan milik sendiri.
Mereka mendesak Bupati Tabanan, I Komang Gede Sanjaya, agar meniru sikap Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang berpihak kepada warganya.
“Pak Bupati Tabanan seharusnya belajar dari Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tentang bagaimana membela kepentingan rakyat,” kata Wayan Subadre, warga Jatiluwih, pada Senin (28/4/2025).
Pria yang akrab disapa Supri itu mengungkapkan, dirinya sempat didatangi aparat dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) Tabanan dan menerima surat peringatan (SP) karena mendirikan warung di atas tanah miliknya sendiri.
Namun, ketika ia mempertanyakan dasar pelarangan tersebut, pihak Dinas PU tidak bisa memberikan penjelasan yang pasti.
“Mereka sendiri tidak yakin apakah warung yang juga menjadi rumah saya ini masuk zona hijau. Anak saya minta ditunjukkan gambar tata ruangnya, tidak diberi,” ujarnya.
Subadre menambahkan, dirinya sudah pernah mengajak pengurus Daerah Tujuan Wisata (DTW) Jatiluwih untuk memperjuangkan nasib warga, namun tidak ditanggapi.
Ia menyatakan kecewa dengan sikap pengurus DTW yang kurang responsif terhadap persoalan masyarakat.
Meski demikian, ia bersyukur mendapat dukungan didapat dari tokoh-tokoh desa adat Jatiluwih. Dalam waktu dekat, mereka berencana mendatangi kantor Dinas PU Tabanan untuk meminta kejelasan.
“Tokoh dan masyarakat adat Jatiluwih mendukung kami agar bisa mendirikan warung demi memiliki penghasilan,” ujarnya.
Jika benar warung tersebut berada di zona hijau, Subadre meminta Pemerintah Kabupaten Tabanan memberikan solusi yang berpihak kepada rakyat.
“Jangan asal perintahkan bongkar tanpa solusi. Apapun risikonya, saya akan tetap berjualan selama belum ada kejelasan dari Bupati Tabanan,” tegasnya.
Ia mengingatkan, kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada warga dapat menyebabkan banyak warga khususnya pemuda Desa Jatiluwih memilih merantau ke luar daerah untuk bekerja, padahal potensi wisata dan pertanian desanya sangat besar.
“Jatiluwih ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) karena keindahan teraseringnya. Tapi pendapatan dari bertani tidak cukup karena dukungan dari Pemkab Tabanan tidak total, ditambah lagi warga dilarang berjualan. Kalau begini, bagaimana kami menafkahi keluarga,” pungkasnya.
Petani Sorot Perilaku Pengurus DTW Jatiluwih
Sementara itu, para petani di kawasan Jatiluwih, Tabanan, Bali, meminta dilibatkan secara langsung dalam proses penentuan pengurus Daerah Tujuan Wisata (DTW) Jatiluwih.
Mereka menilai hal ini penting untuk memastikan pengurus DTW berpihak pada kepentingan petani.
“Selama ini kami hanya diminta mengusulkan nama, tapi orang yang kami usulkan belum tentu terpilih. Kami ingin punya hak untuk turut menentukan siapa yang layak menjadi pengurus DTW,” ujar Nyoman Tengok, petani Jatiluwih.
Tak hanya itu, pria berusia 36 tahun ini juga meminta ada dari perwakilan petani yang masuk ke dalam pengurus DTW sehingga dapat membuat program.
Tengok menilai pengurus DTW saat ini kurang menunjukkan kepedulian terhadap nasib petani, padahal keberadaan DTW tidak terlepas dari kontribusi petani.
Seperti dijelaskan di atas, UNESCO menetapkan Desa Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia. DTW sendiri dipercaya mengelola kawasan tersebut, termasuk penjualan tiket masuk.
Namun dalam perjalanannya, Tengok menyebut pengurus DTW saat ini tidak memperjuangkan kesejahteraan petani, terutama dalam hal pembagian hasil penjualan tiket.
“Pengurus sebelumnya berhasil memperjuangkan kenaikan jatah petani dari 45 persen menjadi 55 persen. Tapi kami tidak tahu apakah sistem ini masih diterapkan. Pengurus DTW sekarang kurang transparan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti minimnya dukungan DTW terhadap persoalan pertanian. Subsidi pupuk organik dari pemerintah dinilai belum mencukupi, sehingga petani harus membeli pupuk dari pihak lain dengan harga tinggi, yang berujung pada kerugian.
“Secara moral, DTW seharusnya peduli terhadap persoalan pupuk. Jika kami tidak bisa mengolah sawah secara optimal, maka daya tarik wisata Jatiluwih akan menurun, karena yang dijual adalah lanskap pertanian,” jelas Tengox.
Karena pendapatan yang minim, beberapa petani berinisiatif membuka warung di sekitar lahan untuk menambah penghasilan. Namun, upaya tersebut justru mendapat hambatan dengan tuduhan melanggar zona hijau.
“Kami bahkan mendapat surat peringatan, dan DTW tidak membela kami. Mereka hanya diam,” katanya.
Sebagai solusi, Wayan Tengok mengusulkan agar jatah 45 persen untuk Pemkab Tabanan dikurangi menjadi 10 persen. Sisanya, yakni 35 persen, diusulkan untuk langsung diberikan kepada petani tanpa melalui DTW.
“DTW cukup menerima 55 persen, yang kemudian dibagi lagi kepada petani, desa adat, dan pihak lain. Lakukan secara transparan agar semuanya jelas,” ujarnya.
“Kalau pembagian dari hasil menjual tiket lumayan, ditambah lagi hasil penjualan pertanian bagus, saya rasa warga tidak akan berjualan, fokus saja bertani,” pungkasnya. []
Tinggalkan Balasan