Eranasional.com – Liburan ke Bali pasti selalu dan sering melihat para pria dan wanita setiap pagi hari, menghaturkan rangkaian kecil sebesar genggaman tangan beralaskan janur di atasnya diisi bunga dengan dupa yang menyala di depan rumah atau pertokoan pinggir jalan atau di depan restoran, vila atau hotel. Apa yang dilihat berbentuk janur tersebut lalu didoakan itulah Canang Sari. Canang Sari merupakan upakāra (perlengkapan) keagamaan umat Hindu di Bali untuk persembahan tiap harinya kepada Tuhan. Persembahan ini dapat ditemui di berbagai pura, tempat sembahyang kecil di rumah-rumah, dan di jalan-jalan sebagai bagian dari sebuah persembahan yang lebih besar lagi. Canang sendiri merupakan salah satu bentuk banten atau “persembahan”.

Bali memiliki tiga tingkatan upakara, yakni Nista, Madya dan Utama. Ketiga tingkatan inilah yang mendasari umat Hindu dalam beryadnya sesuai kemampuan, agar yadnya yang dilakukan tidak memberatkan. Upakara dengan kuantitas terkecil dikenal dengan istilah Nista, di mana salah satunya cukup dengan sarana upakara berupa canang.

Canang sari diperoleh dari kata sari (“inti, esensi”) dan canang (wadah anyaman daun kelapa). Menurut kamus bahasa Bali, canang merupakan sebuah kata benda dengan tingkatan bahasa halus yang memiliki arti sirih”. Buku “Sembahyang menurut Hindu” menyebutkan bahwa pada zaman dulu sirih bernilai sangat bernilai tinggi dan menjadi lambang penghormatan. Sirih disuguhkan kepada tamu yang sangat dihormati. Menurut Ida Pedanda Gede Made Gunung, seorang pedanda Bali, kata “canang” terdiri atas dua suku kata bahasa Kawi, “ca” (“indah”) dan “nang” (“tujuan”). Dengan demikian, pengertian canang dapat djabarkan menjadi sebuah sarana yang bertujuan untuk memohon keindahan (sundharam) ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 

Dari segi penggunaan, bentuk, dan perlengkapannya, canang dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain Canang Genten, Canang Burat Wangi, Lenge Wangi, Canang Sari, dan Canang Meraka. Simbolisme dari bagian-bagian penyusun canang adalah sebagai berikut:

1. Ceper.

Ceper adalah alas dari sebuah canang yang memiliki bentuk segi empat dan melambangkan angga-sarira (badan). Keempat sisi ceper melambangkan pembentuk angga-sarira, yaitu Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, dan Panca Karmendriya. Canang yang dialasi ceper merupakan simbol Ardha Candra, sedangkan yang dialasi oleh tamas kecil merupakan simbol dari Windhu.

2. Beras.

Beras atau wija melambangkan Sang Hyang Ātma atau yang membuat badan mejadi hidup, melambangkan benih di awal kehidupan yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Ātma.

3. Porosan. 

Porosan atau peporosan terbuat dari daun sirih, kapur, dan jambe (gambir) yang melambangkan Tri-Premana, yaitu Bayu (“pikiran”), Sabda (“perkataan”), dan Idep (“perbuatan”). Ketiganya membuat tubuh yang bernyawa dapat melakukan aktivitas. Porosan juga melambangkan Trimurti, yaitu Siwa (kapur), Wisnu (sirih), dan Brahma (gambir). Porosan mempunyai makna bahwa setiap umat harus mempunyai hati (poros) penuh cinta dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

4. Jajan, tebu, dan pisang.

Jajan, tebu, dan pisang menjadi simbol dari Tedong Ongkara yang melambangkan kekuatan UpettiStiti, dan Pralinan dalam kehidupan di alam semesta.

5. Sampian Uras.

Sampian uras atau juga disebut Duras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai yang melambangkan roda kehidupan dengan astaa iswaryanya (“delapan karakteristik’) yang menyertai setiap kehidupan umat manusia.

6. Bunga.

Bunga yang diletakkan di atas sampian urasari melambangkan kedamaian dan ketulusan hati. Penyusunan bunga diurutkan sebagai berikut:

Bunga berwarna Putih disusun di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara.
Bunga berwarna Merah disusun di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma.
Bunga berwarna Kuning disusun di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa.
Bunga berwarna Biru atau Hijau disusun di Utara sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu.
Kembang Rampai disusun ditengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata

7. Kembang Rampai.

Kembang rampai diletakkan di atas susunan bunga dan memiliki makna sebagai lambang kebijaksanaan. Bermacam-macam bungai ada yang harum dan ada yang tidak berbau, melambangkan kehidupan manusia tidak selamanya senang atau susah. Untuk itulah, dalam menata kehidupan, manusia hendaknya memiliki kebijaksanaan.

8. Lepa.

Lepa atau boreh miyik merupakan lambang sebagai sikap dan perilaku yang baik. Perilaku menentukan penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya seseorang.

9. Minyak wangi.

Minyak wangi atau miyik-miyikan menjadi lambang ketenangan jiwa atau pengendalian diri. Dalam menata kehidupan, manusia hendaknya hendaknya menjalankannya dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik.

Sebuah canang sari disempurnakan dengan meletakkan sejumlah kepeng (uang logam) atau uang kertas, konon untuk menjadi esensi (sari) dari persembahan. Secara fungsi, Canang memiliki peranan yang sangat penting dalam ritual keagamaan umat Hindu di Bali sehingga juga disebut Kanista atau “inti dari upakara“. Sebesar apapun upakara tersebut maka tidak akan menjadi lengkap kalau tidak diisi dengan canang.

Canang sari digunakan sebagai persembahan harian kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai ungkapan syukur atas kedamaian yang telah diberian kepada dunia; merupakan persembahan rumah tangga yang paling sederhana. Filosofi dari proses persembahan adalah mengurbankan diri sendiri, sebab perlu waktu dan tenaga untuk mempersiapkan persembahan. Canang sari tidak digunakan saat ada kematian di dalam masyarakat atau keluarga. (ydj/red)