Pekalongan, ERANASIONAL.COM – Pekalongan tidak hanya dalam ancaman bencana “tenggelam” akibat banjir rob, kenaikan muka air laut maupun penurunan muka tanah, tapi juga menghadapi potensi ancaman “bencana sampah”.
Hal ini terkait dengan kondisi TPA Sampah di Degayu yang sudah berusia 30 tahun, dimana saat ini dalam kondisi kritis. Kota Pekalongan perlu bersiap melakukan antisipasi potensi ancaman bencana sampah.
“Jika pada awal tahun 2024, truk sampah masih bisa masuk 20-30 meter ke dalam TPA untuk membuang sampah. Pada bulan Mei ini, hanya bisa membuang sampah persis di depan pintu gerbang,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Sri Budi Santoso, Jumat, 31 Mei 2024.
Bahkan, lanjut dia, kepala truk kadang sebagian berada di badan jalan saat menumpah sampah. Padahal, setiap hari TPA Degayu menerima kiriman sampah sekitar 130 sampai dengan 140 ton sampah.
“Pengelolaan sampah di TPA Degayu saat ini mengandalkan 3 alat berat (excavator), 1 excavator untuk menarik sampah dari depan pintu gerbang ke tengah. 1 lagi untuk menarik dari tengah bawah ke atas, kemudian 1 lagi menata di atas,” katanya.
Jadi, masih menurut dia, hampir dapat dipastikan potensi bencana atau darurat sampah akan menjadi kenyataan, apabila satu-satunya TPA yang ada, yakni TPA Degayu sudah tidak bisa menampung atau menerima sampah lagi.
“Sementara, kemampuan mengolah (Reduce, Reuse, Recyle) atau mengurangi sampah oleh masyarakat belum sebanding dengan produksi sampah,” ucap SBS, sapaan akrabnya.
Lebih lanjut, SBS menjelaskan bahwa, kondisi pengelolaan sampah di Kota Pekalongan saat ini masih sangat dominan di sisi hilir atau paradigma Kumpul-Angkut Buang (KAB), di mana seolah menangani hanya persoalan bagaimana mengumpulkan, mengangkut dan membuang ke TPA.
Paradigma di sisi hulu atau pengolahan (pengurangan) sampah masih sangat lemah. SBS menyebutkan, dari total produksi sampah selama ini hanya diolah sekitar 10%, sisanya 90% dikirim ke TPA.
“Berbagai fasilitas dan stakeholder yang berperan dalam pengolahan untuk pengurangan sampah di Kota Pekalongan, seperti keberadaan TPS3R (Reduce, Reuse, Recyle), bank sampah, pemulung, usaha informal sampah saat ini kinerja dalam mengurangi sampah masih terbatas,” ujarnya.
Secara umum, baru mampu mengurangi sampah sekitar 7 sampai dengan 10 ton per hari, baik menjadi kompos, pilah anorganik, budidaya maggot dan atau lainnya.
Terkait kemungkinan potensi bencana sampah dan antisipasinya ke depan, SBS menjelaskan, DLH saat ini sedang menyiapkan draf regulasi tentang Sistem Tanggap Darurat apabila terjadi bencana sampah, utamanya kondisi berhentinya layanan TPA.
Sebab, TPA bisa berhenti kapan saja jikalau terjadi hal-hal yang tidak terduga, misal kerusakan alat-alat berat seperti excavator atau sebab lainnya.
“Konsep sistem tanggap darurat merupakan konsep semacam “mode darurat” tentang siapa melakukan apa. Bagaimana caranya, kapan dilakukan dan di mana tentang pengelolaan sampah dalam TPA tidak bisa lagi menampung maupun menerima sampah,” lanjutnya.
Misal, semua dunia usaha skala menengah dan besar wajib membuat fasiitasi pengolahan sampah atau mengelola sampah secara mandiri, komunitas masyarakat (kelurahan, RW atau RT) membentuk KSM untuk membuat fasilitas pengolahan sampah.
“Kantor OPD juga harus menjadi teladan mengelola sampah, usaha skala kecil dalam satu kawasan bekerja sama mengelola sampah dan lain-lain. Nanti kita adakan konsultasi publik, sehingga ketika terjadi darurat sampah, kita sudah punya panduan atau antisipasi untuk bertindak,” tuturnya.
Untuk saat, ini fasilitas pengolahan untuk pengurangan sampah yang hampir ada di semua kelurahan adalah TPS3R yang saat ini berjumlah 22 buah. Rata-rata kemampuan TPS3R melakukan pengolahan untuk pengurangan sampah masih terbatas sekitar 10%.
Namun demikian, SBS menjelaskan bahwa, dari 22 ini ada 4 unit TPS3R telah dilengkapi dengan mesin pilah dan melakukan budidaya maggot, yang kemampuan pengolahan/ pengurangan sampahnya sangat signifikan bisa mencapai 50 sampai dengan 70%.
“Sementara itu, 18 lainnya karena pemilahan manual dan tidak melakukan budidaya kemampuan pengolahan/pengurangan, sampahnya sangat terbatas. Kami juga menghimbau kepada dunia usaha untuk ikut peduli dan membantu dalam pengelolaan sampah,” imbaunya.
Menurut SBS, sebenarnya Kota Pekalongan sudah punya contoh inovasi yang baik dalam pengolahan dan pengurangan sampah di TPS3R ini.
“Yang sangat baik misal di TPS3R Banyuurip, TPS3R Rusunawa Krapyak, Grogolan. Ini bisa kita jadikan model untuk langkah pengelolaan sampah yang baik di masa mendatang agar sampah bisa diolah sepenuhnya dan sesedikit mungkin yang dibawa ke TPA sebagai residu,” pungkasnya. (em-aha)
Tinggalkan Balasan